DARI hari ke hari, bangsa Indonesia terpuruk dan terus terpuruk. Bencana yang
seakan silih berganti, susul-menyusul dengan mewabahnya berbagai penyakit
mematikan, seakan tak bosan menghampiri bangsa ini. Sementara perubahan yang
diharapkan terjadi di berbagai bidang kehidupann, bukannya membawa ke arah
perbaikan, sebaliknya makin memperburuk kondisi bangsa, menyulitkan dan
menambah penderitaan rakyat, terutama mereka yang berada di strata bawah.

Apa sekarang yang tidak sulit didapat rakyat? Jika dulu hanya minyak tanah yang
harus antre, kini solar yang sebagian besar untuk industri dan membantu
menggerakkan roda perekonomian, disusul premium (bensin) yang dibutuhkan secara
langsung oleh lebih 50 persen masyarakat _bahkan hampir 100 persen masyarakat
Indonesia secara tidak langsung bergantung pada bensin_ juga semakin langka dan
sulit didapat.

Jika minyak tanah yang sulit, silakan bilang itu hanya untuk masyarakat
menengah bawah. Tapi jika kemudian kelangkaan BBM itu juga terjadi pada
kalangan industri dan kemudian masyarakat menengah ke atas, apakah ini artinya
sebuah indikasi bangsa ini menuju pada pemerataan kemiskinan? Bukan pemerataan
kesejahteraan?

Bila ini dibiarkan berlarut-larut dan tak teratasi juga oleh pemerintah, yang
selalu mengusung isu perubahan, bukan masyarakat miskin yang bisa diangkat dari
garis kemiskinan. Sebaliknya, kemapanan yang telah dimiliki sebagian rakyat
Indonesia akan terseret ke garis kemiskinan. Jangan heran, angka kemiskinan
yang harusnya ditekan, kini malah membengkak.

Apa sebenarnya yang terjadi pada bangsa ini? Mengutip bait lagu Ebit G Ade:
"Mungkin Tuhan sudah bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa," ini bisa jadi renungan bagi kita semua. Mungkin bencana yang
datang bertubi-tubi ini sebenarnya teguran dari Yang Maha Kuasa.

Runut saja tingkah polah elit bangsa kita selama ini. Bangsa ini memang banyak
tingkah dan bergelimang dosa, tak ada lagi rasa malu terhadap kesalahan yang
dibuat. Sikap, tindakan, keputusan, maupun kebijakan yang diambil lebih
mendasarkan pada ego pribadi, kepentingan sendiri, kelompok dan golongan.
Masing-masing merasa benar sendiri dan orang lain adalah salah.

Perpecahan kini menjadi hal biasa pada bangsa ini. Berbalut kepentingan
politik, seakan-akan telah mengaburkan kebenaran hakiki. Dengan mengatasnamakan
politik pula, tak ada lawan maupun kawan yang abadi, yang ada hanyalah
kepentingan abadi. Tak heran, elit sering melupakan rakyat, dan lebih
memikirkan mana lawan yang bisa dijadikan kawan dan mana kawan yang harus
dijadikan lawan demi mencapai tujuan.

Di tengah keterpurukan bangsa ini dan tingkah elit itu, tak ada salahnya kita
khususnya warga Kalsel merenungkan 13 wasiat yang ditinggalkan ulama besar KH
Muhammad Zaini Abdul Ghoni atau yang akrab disapa Guru Sekumpul, yakni:
Menghormati ulama; Baik sangka terhadap muslimin; Murah diri; Murah harta;
Manis muka; Jangan menyakiti orang; Memaafkan kesalahan orang; Jangan
bermusuh-musuhan; Jangan toma (tamak, Red); Berpegang kepada Allah pada qabul
segala hajat; Yakin keselamatan itu ada pada benar (kebenaran, Red); Jangan
merasa baik daripada orang lain; Tiap-tiap orang iri dengki atau adu-asah (adu
domba, Red) jangan dilayani serahkan saja pada Allahtaala.

Wasiat yang ditulis Guru Sekumpul sekitar 13 tahun lalu, tepatnya 11 Jumadil
Akhir 1413 Hijriah, sangat dalam maknanya. Meski ditulis dalam bahasa yang
sangat sederhana. Marilah kita bertanya dalam diri kita masing-masing:
"Sudahkah semua itu kita jalankan dalam kehidupan sehari-hari?"

Hari ini, sebagian umat Islam melaksanakan puasa pertengahan (nisfu) Sya'ban.
Bagi mereka yang mengerjakannya, makna yang terkandung dalam nisfu Sya'ban ini
diyakini sebagai momen untuk menyucikan diri dengan memperbanyak ibadah dan
meminta ampunan kepada Allah SWT.

Kemudian, sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, bulan penuh
ampunan, suatu momen yang tepat bagi seluruh anak negeri ini untuk melakukan
perenungan tentang makna menahan diri dari berbagai nafsu. Tak hanya syahwat,
tapi lebih dari itu yaitu nafsu yang terkadang berselimut di balik kebaikan
dalam bentuk kepura-puraan.

Dengan kita, semua anak negeri ini, merenungkan kembali wasiat yang disampaikan
Guru Sekumpul, juga makna nisfu Sya'ban dan pemasungan nafsu pada bulan suci
Ramadhan, semoga bangsa ini menemukan secercah harapan perubahan untuk menuju
Indonesia yang benar-benar lebih baik, beretika, bermoral dan berbudaya (malu).



80s toys - Atari. I still have